Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SHOLAT UNTUK MEMBENTUK KARAKTER PRIBADI MUSLIM

SHOLAT UNTUK MEMBENTUK KARAKTER PRIBADI MUSLIM

SHOLAT DALAM MEMBENTUK KARAKTER PRIBADI MUSLIM YANG TAAT

 Akan datang suatu masa menimpa manusia, banyak yang melakukan shalat, padahal sebenarnya mereka tidak shalat, Perputaran waktu dari detik, ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu,minggu ke minggu dan bulan ke bulan tak terasa kita sudah berada di awal bulan sya'ban yang artinya beberapa minggu lagi kita akan menghadapi Bulan Ramadhan dan beberapa hari yang lalu kita sudah melewati bulan rajab yang telah kita ketahui bersama bahwa bulan rajab merupakan bulan memperingati terjadinya peristiwa yang luar biasa dalam sejarah peradaban Islam pada masa Rasulullah, yakni Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke masjidil Aqsha dan dari masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha.

 Peristiwa besar sekaligus bersejarah ini terukir dalam kitab suci Al-Qur'anul Karim. Dalam surah al-Isra' ayat 1 Allah subhanahu wata'ala berfirman:

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ١

 Artinya :“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”(QS Al Isro :1).

 Barangkali kita semua sudah maklum mengenai rentetan peristiwa yang menunjukkan kebesaran Allah ini. Dimana dengan kekuasaan-Nya yang maha luas, Allah telah menunjukkan kebesarannya kepada manusia melakukan sesuatu yang berada di luar hukum-hukum thabi'i (hukum alam), di luar kemampuan nalar manusia pada umumnya.

  Perjalanan Nabi Muhammad SAW. dari Mekah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian  ke Sidrat Al-Muntaha, dan bahkan lebih jauh lagi, dan kembali ke Mekah dalam waktu yang sangat singkat, merupakan tantangan terbesar setelah Al-Qur'an diberikan oleh Alloh kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan hakikat Tuhan melingkupi dan menjangkau, bahkan melampaui segala sesuatu yang terbatas dan tak terhingga tanpa dibatasi ruang dan waktu.

 Kaum empiris dan rasionalis, yang menghindari bimbingan wahyu, dapat menyatakan:

Bagaimana mungkin mencapai kecepatan yang bahkan melebihi kecepatan cahaya,  yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam ruang empat dimensi ini? Bagaimana mungkin lingkungan fisik yang dilalui  Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam tidak menimbulkan gesekan kuat yang merusak tubuhnya sendiri? Bagaimana mungkin ia bisa lepas dari gravitasi bumi? Hal ini tidak mungkin terjadi, karena  tidak sesuai dengan hukum alam, tidak terjangkau oleh pancaindra, bahkan tidak dapat dibuktikan dengan standar logika. Inilah klompok orang-orang yang menolak peristiwa tersebut.

 Memang pendekatan yang paling akurat untuk memahaminya adalah pendekatan iman. Hal inilah yang dialami oleh Abu Bakar As-Shiddiq, sebagaimana diuraikan dalam pidatonya:

“Apabila yang mengatakan peristiwa itu adalah Muhammad itu pasti benar.”

 Berkaca pada kebesaran dan kekuasaan Allah pada peristiwa Isra' dan Mi'raj  penting untuk mengingatkan kita akan jati diri  manusia dan kewajiban kita  hidup di dunia. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah sejauh mana kita dapat menangkap inti dari peristiwa luar biasa ini.

 Isra' Mi'raj merupakan sebuah perjalanan suci dan bukan sekedar perjalanan "wisata" biasa bagi Nabi. Peristiwa ini pun menjadi sebuah perjalanan bersejarah yang  menjadi titik balik pemulihan dakwah Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wasallam. John Renerd dalam bukunya “In the Footsteps of Mohammed:

"(Understanding the Islamic Experience),"Memahami Pengalaman Islam", menyebutkan bahwa Isra Mi'raj merupakan salah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah sallallahu 'alayhi wasallam, selain perjalanan Hijrah dan Haji Wada. Isra Mi'raj Menurut Baginya, ini benar-benar sebuah perjalanan heroik dalam pencariannya akan kesempurnaan di dunia spiritual.

 Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada tahun 662 M merupakan awal sejarah Islam, atau perjalanan Haji Wada  menandai penguasaan umat Islam di Mekah, maka Isra Mi’raj merupakan puncak dari perjalanan  hamba tersebut. perjalanan (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi'raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil), sehingga perjalanan ini menurut para sufi adalah perjalanan dari bumi yang rendah menuju surga yang tinggi.

 Inilah perjalanan yang dicita-citakan oleh setiap penganut tasawuf. Salah satu momen penting  peristiwa Isra Mi'raj adalah saat Nabi “bertemu” Allah. Saat itu Nabi dengan penuh hormat bersabda:

 “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth vayyibatulillah”; “Segala kehormatan, kemuliaan dan keagungan adalah milik Allah.” 

Allah juga berfirman:

 “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh.”

 Mendengar percakapan tersebut, para malaikat sekaligus membacakan dua ayat syahadat. Asyadu an La Ilaha Illa LLAH wa ashadu anna Muhammadan rasulullah. Maka dari ungkapan sejarah tersebut, bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari bacaan doa tahiyat.

 Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya 'Muhammad Kekasih Allah (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman spiritual yang dialami Rasulullah SAW saat Mi'raj mencerminkan sifat spiritual dari shalat yang dilakukan umat Islam yang di jalankan sehari-hari. 

 Sebagaimana  kita pahami bersama, hakikat pertemuan Allah dan Nabi Muhammad SAW di Sidratul Muntaha adalah turunnya kewajiban di agama Islam yang paling mendasar, yaitu menunaikan shalat lima waktu. Perintah salat ini begitu penting bagi manusia sehingga kita dapat menggunakan peribaratan untuk menggambarkannya secara singkat sebagai “Ash-sholatu 'imaduddin”, salat adalah tiang agama. Jika tiang tersebut rusak atau tidak sempurna, maka jelas dikhawatirkan agama seseorang tersebut akan runtuh atau tidak sempurna.

 Makna sholat yang sangat penting tentunya bukan sekedar sholat dalam bentuk lisan saja, melainkan makna sholat dalam arti yang utuh, sholat merupakan sarana untuk membentuk jati diri moral dan kepribadian sosial seorang manusia.

 Dalam melaksanakan shalat sendiri, penting bagi kita semua untuk mengingat untuk selalu mengutamakan kualitas salat kita. Bukan hanya jumlah shalatnya saja. Kewajiban shalat yang hanya fokus pada kuantitas  akan membebani Anda saat menunaikannya.

 Jika kita menjalankan kewajiban shalat  dengan kualitas yang tinggi, maka shalat yang kita lakukan akan benar-benar dihargai dan akan berdampak pada perilaku dan kualitas hidup kita. Nabi pernah mengingatkan kita akan hal ini dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda:

يأَتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُصَلّوْنَ وَلاَ يُصَلُّوْنَ

Artinya : “Akan datang suatu masa menimpa manusia, banyak yang melakukan shalat, padahal sebenarnya mereka tidak shalat”.(HR  Ahmad).

 Hadits ini mengingatkan  kita untuk selalu menunaikan perintah ini dengan sempurna, mulai dari aspek fiqih hingga hakikat shalat. Dari sudut pandang fiqh, kita perlu mengetahui syarat-syarat dan rukun shalat serta beberapa hal  terkait lainnya seperti cara melakukan wudhu, waktu shalat, dan lain-lain.

 Adapun terminologi doa ini  adalah:

أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ مُفْتَتِحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتِمَةٌ بِا التَّسْلِيْمِ بِشَرَاءِطَ مَخْصُوصَةٍ

 Itu berarti:“Ibadah  terdiri dari  ucapan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat dan rukun tertentu”

 Sementara itu, pada hakikatnya sholat mempunyai dimensi ibadah spiritual, yang  berisi doa-doa yang membawa kedamaian dan ketenangan  jiwa.

 Allah subhanahu wata'ala berfirman:

وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ١٠٣

Artinya:“Dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa-doamu (menjadi) ketenangan hati mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS At-Taubah:103).

 Selain mendatangkan kedamaian dalam jiwa, sholat juga mendatangkan kedamaian bagi orang lain. kena apa? Sebab orang yang shalatnya benar tidak akan melakukan hal-hal yang menjijikan dan jahat. Hal ini disebutkan dalam dalam Al-Quran Surat Al-Ankabut ayat 45:

Allah SWT berfirman:

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ ٤٥

 Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain)”.(QS Surat Al-Ankabut ayat 45).

Berkaca pada ayat ini, menjadi jelas bahwa shalat berkaitan dengan “tanha 'anil fakhsya wal munkar (gerakan menghentikan segala kejelekan, kerusakan dan berbagai bentuk kejahatan). Dengan kata lain, shalat yang sempurna dapat membentuk pribadi yang suci dan mempunyai daya memperbaiki kondisi sosial dalam kerangka  fastabiqul khairat (kompetisi berbuat baik) yang lebih luas.

 Namun batasan shalat seperti itu tampaknya masih kurang bermakna di masyarakat kita. Tumbuhnya budaya korupsi, kolusi, kekerasan, kezaliman, dan sebagainya. merupakan  fenomena yang sangat mengkhawatirkan karena mayoritas penduduk Indonesia  beragama Islam. Situasi ini menunjukkan bahwa sholat (dan mungkin juga ibadah  lainnya) hanya dianggap sebagai ritual sederhana dan bentuknya sederhana; tidak ada hubungannya dengan masyarakat dan lingkungan  manusia. 

 Agama Islam terbukti mampu menciptakan dalam diri manusia rasa jati dirinya sebagai  hamba sekaligus  agama yang menjamin kebahagiaan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Kualitas iman dalam Islam selalu dikaitkan dengan amal shaleh, shalat dikaitkan dengan mencegah perbuatan keji dan munkar, puasa dikaitkan dengan semangat kepekaan terhadap sesama, zakat dikaitkan dengan kesadaran akan hak-hak orang miskin, Haji adalah terkait dengan semangat kesetaraan manusia, dll.

 Maka dari itu, dalam semangat Isra' Mi'raj tahun ini dan  menghadapi bulan Ramadhan, marilah kita jadikan shalat sebagai semangat utama untuk membentuk kepribadian umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan ke arah yang lebih baik sehingga kita dapat memahami Islam secara utuh. secara Kaafah. atau secara global.

 Demikian demikian semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, memberikan kita semua jalan taubat serta membimbing kita untuk mewujudkan Baldatun tuyyibatun wa rabbun ghafur di tengah negara menghadapi krisis ini. Dan  semoga kita juga menjadi pengemban sejati misi Khalifatullah fil 'adhi, yang bertanggung jawab menjaga perdamaian, rekonsiliasi dan ketenangan.

 Aamiin Ya Rabbal Alamin.



Posting Komentar untuk "SHOLAT UNTUK MEMBENTUK KARAKTER PRIBADI MUSLIM"