Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MELIHAT KE MASA LALU UNTUK MELIHAT MASA DEPAN

MELIHAT KE MASA LALU UNTUK MELIHAT MASA DEPAN

MELIHAT KEMBALI KE MASA LALU UNTUK MELIHAT MASA DEPAN

 Marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wata'ala, Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan kepada kita semua nikmat yang tiada habisnya:

Nikmat kesehatan,nikmat kebahagiaan, nikmat berkeluarga, nikmat bertetangga, serta nikmat  bermasyarakat sebagai negara yang damai,hidup berdampingan dengan saudara-saudara  yang  berbeda keyakinan dengan iman kita. Anugerah yang  tidak  pernah bisa dihitung oleh manusia, dan kita hanya diajarkan untuk mensyukurinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Ibrahim 14 ayat 7:

Alloh subhanahu wata'ala berfirman:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧

Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (QS  Ibrahim 14 ayat 7).

 Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, semoga Allah merahmatinya dan memberinya keselamatan, Rasulullah mengajarkan  kita untuk lebih bermanfaat bagi orang lain dan menjadi teladan bagi kita Selalu berbuat baik, meski kepada orang yang telah menyakiti kita. Misalnya ketika diminta berdoa untuk membalas kejahatan kaum musyrik,

 Rasulullah menjawab:

إِنِّي لَمْ أُبعَث لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثتُ رَحمَةً

Artinya : “Aku tidak diutus (sebagai Nabi) untuk menjadi tukang kutuk, melainkan untuk menjadi rahmat”.

Dalam konteks penciptaan alam, dibandingkan dengan makhluk lainnya, manusia merupakan makhluk yang paling mulia. Para sufi menyebutnya  insan kamil, manusia  sempurna. Secara fisik, Al-Quran menggambarkan kesempurnaan manusia dalam surat At-Tin 95 ayat 4:

Alloh subhanahu wata'ala berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ ٤

Artinya: "Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS  At-Tin 95 ayat 4).

 Salah satu unsur kesempurnaan manusia yang tidak dimiliki  makhluk lain, termasuk malaikat, adalah  Allah memberi mereka akal untuk berpikir. Potensi intelektual ini memungkinkan manusia untuk selalu  berkembang, belajar dari pengalaman, dan menuju kualitas yang lebih baik. Dalam Al-Qur'an banyak sekali ayat yang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir seseorang menjadi tolok ukur apakah ia termasuk orang yang mampu memuliakan dirinya atau sebaliknya, bodoh karena tidak mau. berpikir dan belajar.

 Renungan, penilaian diri, dan kajian merupakan kata kunci yang dapat meningkatkan derajat kesalehan seseorang. Dalam Al-Quran, Allah juga telah mengaitkan salah satu pesan ketakwaan dengan nasehat agar setiap jiwa senantiasa bermeditasi, melakukan muhasabah, merenungkan segala sesuatu yang  dialami di masa lalu, baik buruk maupun baik, lalu mempergunakannya. sebagai sarana untuk mengarahkan kehidupan yang berbeda dan lebih baik di masa depan. 

Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS  Al-Hasyr 59 ayat 18).

  Dalam sudut pandang normatif, ayat ini sering dipahami sebagai nasehat kepada setiap jiwa agar merenungkan kehidupan di dunia dan mempersiapkan diri menghadapi akhirat. Namun dalam konteks lain, ayat ini juga dapat dimaknai sebagai perlunya merenungkan sisi baik dan buruk dari sejarah masa lalu kehidupan  manusia, agar dapat dijadikan hikmah dalam menata kehidupan kita saat ini dan esok.

 Sebagai sebuah negara, Indonesia telah mewarisi peradaban  yang telah lama terbentuk dari keberagaman masyarakatnya yang sangat beragam, baik dari segi agama, budaya, suku, bahkan keberagaman bahasa dan karakter. Secara historis, keberagaman yang besar ini dalam sejarah nyatanya pernah menimbulkan gesekan dan konflik akibat berbagai klaim mengenai penafsiran kebenaran, terutama dalam hal persoalan agama.

 Dan kita bersyukur banyak catatan sejarah masa lalu nenek moyang kita yang tertuang dalam naskah-naskah kuno yang  kita warisi saat ini sebagai bagian dari  warisan budaya kita. Tinggal bagaimana pikiran kita merawatnya dan bagaimana memanfaatkannya untuk membangun peradaban kita  lebih baik lagi di masa depan.

 Salah satu kenangan sejarah yang tercatat dalam teks-teks kuno adalah bagaimana masyarakat Islam menyelesaikan  konflik berdasarkan agama. Konflik atas dasar atau atas nama agama seperti ini sering terjadi dan sepertinya terus berulang sepanjang sejarah umat manusia.

 Untungnya kita masih menyaksikan dan bahkan merasakan sendiri sikap beragama yang secara umum tenteram, aman, dan damai pada komunitas Muslim di Indonesia. Sebelum lahirnya Indonesia, suku bangsa dalam masyarakat kita sudah lebih beragam, bahasa pergaulan yang kita gunakan berjumlah puluhan, dan penafsiran serta  pemahaman agama di antara kitapun tidak selalu sejalan. Namun, sejauh ini kita telah mengelolanya dengan baik.kita percaya bahwa perbedaan adalah berkah, bukan bencana.

 Sebagai umat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kita  meyakini dengan teguh bahwa salah satu pesan akhlak Rasulullah SAW adalah  rahmat terhadap alam semesta, bukan rahmat atau kebaikan terhadap golongan tertentu dan penganut agama tertentu, melainkan kepada siapa pun dan apa pun pada diri kita sendiri yang ada di bumi ini, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Anbiya 21 ayat 107:

Alloh subhanahu wata'ala berfirman:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ ١٠٧

Artinya: "Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS Al-Anbiya 21 ayat 107).

 Bukti sejarah yang masih ada menunjukkan bahwa para misionaris (pendakwah) Muslim yang tiba di nusantara didominasi oleh para sufi, para ahli ilmu hakekat dan para ulama yang sering menekankan  pada ajaran tentang pembersihan jiwa (tahzib Al-nafs) dalam dakwah-dakwahnya. Mereka adalah para sufi, ahli tasawuf, dan  juga aktivis sosial, ulama istana, dan bahkan pejuang melawan kolonialisme dan ketidakadilan.

 Jika kita mendengar kata tasawuf, mungkin  sebagian pikiran kita akan langsung tertuju pada para sufi yang digambarkan lebih mementingkan urusan sehari-hari, uzlah memisahkan diri dari pekerjaan umum, urusan duniawi, dan tidak mau tahu menahu tentang apa pun. Hal itu terjadi, karena mereka lebih asyik ngobrol dan asyik maksyuk dengan sang Khaliq.

 Pemahaman tasawuf seperti itu tentu  tidak sesuai dengan konteks Indonesia masa lalu. Ajaran tasawuf yang dibawa  para misionaris (pendakwah) muslim Indonesia tidak seperti apa yang digambarkan namun telah mengalami proses penafsiran baru.

 Mereka mengusung ajaran Islam jalan Tengah atau Islam washatiyah, yaitu Islam yang di satu sisi menekankan pentingnya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta namun juga mengusung semangat memperjuangkan kemaslahatan umat manusia, kerja keras dan kerjasama dengan sesama. masyarakat untuk mencapai keadilan. Umat ​​​​sufi Muslim Indonesia tidak takut dengan permasalahan sosial, mereka justru berusaha membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat.

 Kita tentu pernah mendengar bahwa Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf Singkel dari Aceh adalah penganut sufi, begitu pula ulama-ulama istana abad ke-17 yang berperan ganda sebagai penulis karya-karya Islam dan pendukung sosial dan konstitusi kenegaraan. Begitu pula dengan Syekh Yusuf Makasar, Syekh Abdussamad Palembang, Syekh Nawawi Banten dan para ulama generasi terkini seperti Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy'ari, Hamka dan masih banyak lagi nama-nama lainnya yang patut disebut.

 Kesemuanya merupakan simpul-simpul lahirnya karakter keagamaan Islam umat Islam Indonesia yang memilih jalan tengah (washatiyah), mendakwahkan nilai-nilai Islam yang universal, dan menjelaskan cara mengamalkan dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam  kehidupan masyarakat yang majemuk, beragam. dan masyarakat kaya. multi etnis. seperti masyarakat Indonesia.

 Secara umum, mereka meyakini bahwa menganut Islam bukan hanya sekedar agama tetapi juga budaya dan masyarakat, berkontribusi terhadap berkembangnya peradaban ideal umat manusia. Sebagai anggota masyarakat yang majemuk, kita tentu  tidak bisa menghindari perbedaan yang ada di antara kita. Bagaimanapun, Al-Quran juga  menjelaskan bahwa umat manusia  terdiri dari banyak suku, etnis, dan bangsa yang berbeda. Allah menjelaskan dalam Al-Quran surat al-Hujurat 49 ayat 13:

Alloh subhanahu wata'ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣

Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti." (QS  Al-Hujurat 49 ayat 13).

 Hal terpenting yang harus dilakukan adalah mengetahui bagaimana menyikapi perbedaan yang ada di sekitar kita. Dalam salah satu karyanya tentang tasawuf yang berjudul Ithaf al-Dzaki (Persembahan bagi Jiwa yang Cerdas), Syekh Ibrahim al-Kurani, seorang ulama besar Madinah pada abad ke-17 dan guru dari beberapa ulama Indonesia, mengatakan:

الْجَمعُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّرْ جِيْحِ

Artinya : “Menghimpun perbedaan itu lebih diutamakan ketimbang mengunggulkan salah satu dari yang lain”

 Akhirnya, mari kita renungkan firman Allah dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah 2 ayat 143.

Alloh subhanahu wata'ala berfirman:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

Artinya: "Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan40) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..." (QS  Al-Baqarah 2 ayat 143).

 Maka dengan menjadi orang yang memilih jalan washatiyah, Semoga kita bisa membawa lebih banyak  rahmat bagi orang-orang di sekitar kita.

 Amin ya robbal'amin...



Posting Komentar untuk "MELIHAT KE MASA LALU UNTUK MELIHAT MASA DEPAN"